Postingan Populer

Karomah Syaikh Abdul Qodir Jailani Ra


Terbesar dari Persia
Ia berkata, “Siapa itu berada di pintu?”
Aku berkata, “Hamba sahaya Paduka.”
Ia berkata, “Kenapa kau ke mari?”
Aku berkata, “Untuk menyampaikan hormat
padamu, Gusti.”
Ia berkata, “Berapa lama kau bisa
bertahan?”
Aku berkata, “Sampai ada panggilan.”
Aku pun menyatakan cinta, aku mengambil
sumpah
Bahwa demi cinta aku telah kehilangan
kekuasaan.
Ia berkata, “Hakim menuntut saksi kalau
ada pernyataan.”
Aku berkata, “Air mata adalah saksiku,
pucatnya wajahku adalah buktiku.”
Ia berkata, “Saksi tidak sah, matamu
juling.”
Aku berkata, “Karena wibawa keadilanmu
mataku terbebas dari dosa.”
Syair religius di atas adalah cuplikan dari
salah satu puisi karya penyair sufi terbesar
dari Persia, Jalaluddin Rumi. Kebesaran
Rumi terletak pada kedalaman ilmu dan
kemampuan mengungkapkan perasaannya
ke dalam bahasa yang indah. Karena
kedalaman ilmunya itu, puisi-puisi Rumi
juga dikenal mempunyai kedalaman makna.
Dua hal itulah –kedalaman makna dan
keindahan bahasa– yang menyebabkan
puisi-puisi Rumi sulit tertandingi oleh
penyair sufi sebelum maupun sesudahnya.
Rumi memang bukan sekadar penyair,
tetapi ia juga tokoh sufi yang berpengaruh
pada zamannya. Rumi adalah guru nomor
satu tarekat Maulawiah –sebuah tarekat
yang berpusat di Turki dan berkembang di
daerah sekitarnya. Tarekat Maulawiah
pernah berpengaruh besar dalam
lingkungan Istana Turki Utsmani dan
kalangan seniman pada sekitar tahun l648.
Sebagai tokoh sufi, Rumi sangat menentang
pendewa-dewaan akal dan indera dalam
menentukan kebenaran. Pada zamannya,
ummat Islam memang sedang dilanda
penyakit itu.
Bagi kelompok yang mengagul-agulkan
akal, kebenaran baru dianggap benar bila
mampu digapai oleh indera dan akal.
Segala sesuatu yang tidak dapat diraba oleh
indera dan akal, cepat-cepat mereka ingkari
dan tidak diakui.
Padahal, menurut Rumi, justru pemikiran
semacam itulah yang dapat melemahkan
iman kepada sesuatu yang ghaib. Dan
karena pengaruh pemikiran seperti itu pula,
kepercayaan kepada segala hakekat yang
tidak kasat mata, yang diajarkan berbagai
syariat dan beragam agama samawi, bisa
menjadi goyah.
Rumi mengatakan, “Orientasi kepada indera
dalam menetapkan segala hakekat
keagamaan adalah gagasan yang dipelopori
kelompok Mu’tazilah. Mereka merupakan
para budak yang tunduk patuh kepada
panca indera. Mereka menyangka dirinya
termasuk Ahlussunnah. Padahal,
sesungguhnya Ahlussunnah sama sekali
tidak terikat kepada indera-indera, dan
tidak mau pula memanjakannya.”
Bagi Rumi, tidak layak meniadakan sesuatu
hanya karena tidak pernah melihatnya
dengan mata kepala atau belum pernah
meraba dengan indera. Sesungguhnya,
batin akan selalu tersembunyi di balik yang
lahir, seperti faedah penyembuhan yang
terkandung dalam obat. “Padahal, yang
lahir itu senantiasa menunjukkan adanya
sesuatu yang tersimpan, yang tersembunyi
di balik dirinya. Bukankah Anda mengenal
obat yang bermanfaat? Bukankah
kegunaannya tersembunyi di dalamnya?”
tegas Rumi.
Pengaruh Tabriz
Fariduddin Attar, seorang tokoh sufi juga,
ketika berjumpa dengan Rumi yang baru
berusia 5 tahun pernah meramalkan bahwa
si kecil itu kelak bakal menjadi tokoh
spiritual besar. Sejarah kemudian mencatat,
ramalan Fariduddin itu tidak meleset.
Lahir di Balkh, Afghanistan pada 604 H atau
30 September 1207 Rumi menyandang nama
lengkap Jalaluddin Muhammad bin
Muhammad al-Balkhi al-Qunuwi. Adapun
panggilan Rumi karena sebagian besar
hidupnya dihabiskan di Konya (kini Turki),
yang dahulu dikenal sebagai daerah Rum
(Roma).
Ayahnya, Bahauddin Walad Muhammad bin
Husein, adalah seorang ulama besar
bermadzhab Hanafi. Dan karena kharisma
dan tingginya penguasaan ilmu agamanya,
ia digelari Sulthanul Ulama (raja ulama).
Namun rupanya gelar itu menimbulkan rasa
iri pada sebagian ulama lain. Dan
merekapun melancarkan fitnah dan
mengadukan Bahauddin ke penguasa.
Celakanya sang penguasa terpengaruh
hingga Bahauddin harus meninggalkan
Balkh, termasuk keluarganya. Ketika itu
Rumi baru beruisa lima tahun.
Sejak itu Bahauddin bersama keluarganya
hidup berpindah- pindah dari suatu negara
ke negara lain. Mereka pernah tinggal di
Sinabur (Iran timur laut). Dari Sinabur
pindah ke Baghdad, Makkah, Malattya
(Turki), Laranda (Iran tenggara) dan
terakhir menetap di Konya, Turki. Raja
Konya Alauddin Kaiqubad, mengangkat
ayah Rumi sebagai penasihatnya, dan juga
mengangkatnya sebagai pimpinan sebuah
perguruan agama yang didirikan di ibukota
tersebut. Di kota ini pula ayah Rumi wafat
ketika Rumi berusia 24 tahun.
Di samping kepada ayahnya, Rumi juga
berguru kepada Burhanuddin Muhaqqiq at-
Turmudzi, sahabat dan pengganti ayahnya
memimpin perguruan. Rumi juga menimba
ilmu di Syam (Suriah) atas saran gurunya
itu. Ia baru kembali ke Konya pada 634 H,
dan ikut mengajar pada perguruan tersebut.
Setelah Burhanuddin wafat, Rumi
menggantikannya sebagai guru di Konya.
Dengan pengetahuan agamanya yang luas,
di samping sebagai guru, ia juga menjadi
da’i dan ahli hukum Islam. Ketika itu di
Konya banyak tokoh ulama berkumpul. Tak
heran jika Konya kemudian menjadi pusat
ilmu dan tempat berkumpul para ulama
dari berbagai penjuru dunia.
Kesufian dan kepenyairan Rumi dimulai
ketika ia sudah berumur cukup tua, 48
tahun. Sebelumnya, Rumi adalah seorang
ulama yang memimpin sebuah madrasah
yang punya murid banyak, 4.000 orang.
Sebagaimana seorang ulama, ia juga
memberi fatwa dan tumpuan ummatnya
untuk bertanya dan mengadu.
Kehidupannya itu berubah seratus delapan
puluh derajat ketika ia berjumpa dengan
seorang sufi pengelana, Syamsuddin alias
Syamsi Tabriz.
Suatu saat, seperti biasanya Rumi mengajar
di hadapan khalayak dan banyak yang
menanyakan sesuatu kepadanya. Tiba- tiba
seorang lelaki asing –yakni Syamsi Tabriz–
ikut bertanya, “Apa yang dimaksud dengan
riyadhah dan ilmu?” Mendengar pertanyaan
seperti itu Rumi terkesima. Kiranya
pertanyaan itu jitu dan tepat pada
sasarannya. Ia tidak mampu menjawab.
Berikutnya, Rumi berkenalan dengan
Tabriz. Setelah bergaul beberapa saat, ia
mulai kagum kepada Tabriz yang ternyata
seorang sufi. Ia berbincang-bincang dan
berdebat tentang berbagai hal dengan
Tabriz. Mereka betah tinggal di dalam
kamar hingga berhari-hari.
Sultan Salad, putera Rumi, mengomentari
perilaku ayahnya itu, “Sesungguhnya,
seorang guru besar tiba-tiba menjadi
seorang murid kecil. Setiap hari sang guru
besar harus menimba ilmu darinya, meski
sebenarnya beliau cukup alim dan zuhud.
Tetapi itulah kenyataannya. Dalam diri
Tabriz, guru besar itu melihat kandungan
ilmu yang tiada taranya.”
Rumi benar-benar tunduk kepada guru
barunya itu. Di matanya, Tabriz benar-
benar sempurna. Cuma celakanya, Rumi
kemudian lalai dengan tugas mengajarnya.
Akibatnya banyak muridnya yang protes.
Mereka menuduh orang asing itulah biang
keladinya. Karena takut terjadi fitnah dan
takut atas keselamatan dirinya, Tabriz
lantas secara diam-diam meninggalkan
Konya.
Bak remaja ditinggalkan kekasihnya, saking
cintanya kepada gurunya itu, kepergian
Tabriz itu menjadikan Rumi dirundung
duka. Rumi benar-benar berduka. Ia hanya
mengurung diri di dalam rumah dan juga
tidak bersedia mengajar. Tabriz yang
mendengar kabar ini, lantas berkirim surat
dan menegur Rumi. Karena merasakan
menemukan gurunya kembali, gairah Rumi
bangkit kembali. Dan ia mulai mengajar
lagi.
Beberapa saat kemudian ia mengutus
putranya, Sultan Salad, untuk mencari
Tabriz di Damaskus. Lewat putranya tadi,
Rumi ingin menyampaikan penyesalan dan
permintaan maaf atas tindakan murid-
muridnya itu dan menjamin keselamatan
gurunya bila berkenan kembali ke Konya.
Demi mengabulkan permintaan Rumi itu,
Tabriz kembali ke Konya. Dan mulailah
Rumi berasyik-asyik kembali dengan Tabriz.
Lambat-laun rupanya para muridnya
merasakan diabaikan kembali, dan mereka
mulai menampakkan perasaan tidak senang
kepada Tabriz. Lagi-lagi sufi pengelana itu,
secara diam-diam meninggalkan Rumi,
lantaran takut terjadi fitnah. Kendati Rumi
ikut mencari hingga ke Damaskus, Tabriz
tidak kembali lagi.
Rumi telah menjadi sufi, berkat
pergaulannya dengan Tabriz. Kesedihannya
berpisah dan kerinduannya untuk berjumpa
lagi dengan gurunya itu telah ikut berperan
mengembangkan emosinya, sehingga ia
menjadi penyair yang sulit ditandingi. Guna
mengenang dan menyanjung gurunya itu, ia
tulis syair- syair, yang himpunannya
kemudian dikenal dengan nama Divan-i
Syams-i Tabriz. Ia bukukan pula wejangan-
wejangan gurunya, dan buku itu dikenal
dengan nama Maqalat-i Syams Tabriz.
Rumi kemudian mendapat sahabat dan
sumber inspirasi baru, Syekh Hisamuddin
Hasan bin Muhammad. Atas dorongan
sahabatnya itu, ia berhasil selama 15 tahun
terakhir masa hidupnya menghasilkan
himpunan syair yang besar dan
mengagumkan yang diberi nama Masnavi-i.
Buku ini terdiri dari enam jilid dan berisi
20.700 bait syair. Dalam karyanya ini,
terlihat ajaran-ajaran tasawuf yang
mendalam, yang disampaikan dalam bentuk
apologi, fabel, legenda, anekdot, dan lain-
lain. Karya tulisnya yang lain adalah
Ruba’iyyat (sajak empat baris dalam jumlah
1600 bait), Fiihi Maa fiihi (dalam bentuk
prosa; merupakan himpunan ceramahnya
tentang tasawuf), dan Maktubat (himpunan
surat-suratnya kepada sahabat atau
pengikutnya).
Bersama Syekh Hisamuddin pula, Rumi
mengembangkan tarekat Maulawiyah atau
Jalaliyah. Tarekat ini di Barat dikenal
dengan nama The Whirling Dervishes (Para
Darwisy yang Berputar-putar). Nama itu
muncul karena para penganut tarekat ini
melakukan tarian berputar-putar, yang
diiringi oleh gendang dan suling, dalam
dzikir mereka untuk mencapai ekstase.
Wafat
Semua manusia tentu akan kembali kepada-
Nya. Demikianlah yang terjadi pada Rumi.
Penduduk Konya tiba-tiba dilanda
kecemasan, gara-gara mendengar kabar
bahwa tokoh panutan mereka, Rumi, sakit
keras. Meski menderita sakit keras, pikiran
Rumi masih menampakkan kejernihannya.
Seorang sahabatnya datang menjenguk dan
mendo’akan, “Semoga Allah berkenan
memberi ketenangan kepadamu dengan
kesembuhan.” Rumi sempat menyahut, “Jika
engkau beriman dan bersikap manis,
kematian itu akan bermakna baik. Tapi
kematian ada juga kafir dan pahit.”
Pada 5 Jumadil Akhir 672 H dalam usia 68
tahun Rumi dipanggil ke rahmatullah.
Tatkala jenazahnya hendak diberangkatkan,
penduduk setempat berdesak-desak ingin
menyaksikan. Begitulah kepergian
seseorang yang dihormati ummatnya.
Aku mati sebagai mineral
dan menjelma sebagai tumbuhan,
aku mati sebagai tumbuhan
dan lahir kembali sebagai binatang.
Aku mati sebagai binatang dan kini
manusia.
Kenapa aku harus takut?
Maut tidak pernah mengurangi sesuatu dari
diriku.
Sekali lagi,
aku masih harus mati sebagai manusia,
dan lahir di alam para malaikat.
Bahkan setelah menjelma sebagai malaikat,
aku masih harus mati lagi;
Karena, kecuali Tuhan,
tidak ada sesuatu yang kekal abadi.
Setelah kelahiranku sebagai malaikat,
aku masih akan menjelma lagi
dalam bentuk yang tak kupahami.
Ah, biarkan diriku lenyap,
memasuki kekosongan, kasunyataan
Karena hanya dalam kasunyataan itu
terdengar nyanyian mulia;
“Kepada Nya, kita semua akan kembali”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar