SEJARAH SINGKAT TENTANG PERANAN ALAWIYIN DI INDONESIA
KEPADAMU KU TITIPKAN AL-QUR’AN DAN KETURUNANKU….
(Al-Hadith Rasullah s.a.w. Dirawikan oleh Imam Ahmad Ibn Hambal)
A. PENDAHULUAN
Pada
zaman kekhalifahan Bani Abbas (750-1258 M) berkembanglah ilmu
pengetahuan tentang Islam yang bercabang-cabang disamping kenyataan itu
penghidupan lapisan atas menyimpang dari ajaran agama Islam. Dibentuknya
dynasti Bani Abbas yang turun-temurun mewariskan kekhalifahan. Hidupnya
keturunan Sayidatina Fatmah Al-Zahra dicurigai, tiada bebas dan
senantiasa terancam, ini oleh karena pengaruhnya anak cucu dari Al-Hasan
dan Al-Huseyn r.a. atas rakyat sangat besar dan diseganinya. Keinginan
kebanyakan orang Muslim adalah seorang keturunan Nabi yang seharusnya
memegang kekhalifahan. Banyak yang dipenjarakan dan dibunuhnya oleh
karenanya banyak pula yang pindah dan menjauhkan diri dari pusat Bani
Abbas di Baghdad,
Dalam
keadaan sebagai diuraikan di atas, yang pasti akan dikutuk oleh Allah
SWT dan dengan hendak memelihara keturunannya Baginda Nabi Rasulullah
SAW dari kesesatan, maka Sayidina AHMAD BIN ISA BIN MUHAMMAD BIN ALI BIN
JA’FAR BIN MUHAMMAD BIN ALI BIN AL-HUSEYN r.a. sesuain doanya sayidina
Ibrahim a.s. yang tersurat dalam Al-Qur’an surat 14 ayat 37 dan
dipilihnya Hadramaut, untuk menetap dan berhijrahlah beliau dari Basrah
ke Hadramaut, dimana beliau wafat di Hasisah pada tahun 345 H.
Keturunan
dari AHMAD BIN ISA tadi yang menetap di Hadramaut dinamakan ALAWIYIN
ini dari nama cucunya ALWI BIN UBAIDILLAH BIN AHMAD BIN ISA yang
dimakamkan di Sumul.
Keturunan
sayidina Al-Hasan dan Al-Huseyn r.a. disebut juga ALAWIYIN dari
sayidina Ali bin Abi-Talib k.w, Keluarga Al-Anqawi, Al-Musa-Alkazimi,
Al-Qadiri dan Al-Qudsi yang terdapat sedikit di Indonesia adalah
Alawiyin, tapi bukan dari Alwi bin Ubaidillah.
MUHAMMAD AL-FAQIH AL-MUQADDAM
Luput
dari serbuan Hulaku, saudara maharaja Cina, yang mentamatkan
kekhalifahan Bani Abbas (1257 M), yang memang telah dikhawatirkan oleh
AHMAD BIN ISA akan kutukan Allah SWT tersebut, maka di Hadramaut
Alawiyin menghadapi kenyataan berlakunya undang-undang kesukuan yang
bertentangan dengan ajaran Islam, dan kenyataan bahwa penduduk Hadramaut
adalah Abadhiyun yang sangat membenci sayidina Ali bin Abi-Talib r.a.
Ini ternyata pula hingga kini dari istilah-istilah dalam loghat orang
Hadramaut. Dalam menjalankan “tugas suci”, ialah pusaka yang
diwariskannya, banyak dari pada suku Alawiyin tiada segan mendiami di
lembah yang tandus. Tugas suci itu terdiri dari mengadakan
tabligh-tabligh, perpustakaan-perpustakaan, pesantren-pesantren (rubat)
dan masjid-masjid.
Alawiyin
yang semuala bermazhab “Ahli-Bait” mulai memperoleh sukses dalam
menghadapi Abadhiyun itu setelah Muhammad Al-Faqih Al-Muqaddam BIN ALI
BIN MUHAMMAD BIN ALI BIN ALWI BIN MUHAMMAD BIN ALWI BIN UBAIDILLAH
melaksanakan suatu kompromis dengan memilih mazhab Muhammad bin Idris
Al-Syafi-I Al-Quraisyi, ialah yang kemudian disebut mazhab Sayfi-I,
Muhammad Al-Faqih Al-Muqaddam ini wafat di Tarim pada tahun 653 H.
TUGAS SUCI (ISLAMISASI)
Alawiyin
dalam menyebarkan agama Islam menyeberang ke Afrika Timur, India,
Malaysia, Thailand (Siam), Indonesia Tiongkok (Cina), Filipina, dsb.
B. ALAWIYIN DI INDONESIA SEBELUM DIJAJAH BELANDA
Sebelumnya
orang Barat datang, maka berkembanglah agama Islam dengan baik sekali
dan terbentuklah kerajaan-kerajaan Islam di Indonesia. Runtuhnya
Kerajaan Islam di semenanjung Iberia dalam abad ke VI M. dengan jatuhnya
Al-Andalus (1492 M), mengakibatkan pengerjaan bangsa Spanyol terhadap
Muslimin, pengejaran mana diberkati Paus Roma. Jika kehendak orang
Spanyol menyeranikan, maka kehendak orang Portugis ialah berniaga dengan
orang Muslim di Indonesia, dan oleh karena ini orang Portugis ialah
memperoleh sukses. Sebab peperangan di Europa antara Spanyol sepihak
dengan masing-masing Belanda dan Inggris, maka kedua bangsa ini turut
juga datang ke Indonesia ditentang oleh kaum Muslimin di tanah air kita.
C. ALAWAYIN DI INDONESIA DI MASA JAJAHAN BELANDA
Dengan
pelbagai tipu muslihat dan fitnah akhirnya Belanda disokong oleh
negara-negara Barat lain, dapat menguasai Indonesia dan ekonomi Belanda
mulai berkembang pesat sesudahnya dapat dipergunakan kapal uap. Alawiyin
dari pada awalnya jajahan Belanda mulai merasakan rupa-rupa kesulitan,
oleh karena Belanda melihat bahwa Alawiyin-lah yang dalam segala
lapangan menjadi pelopornya, baik di medan perang maupun dalam bidang
pengangkutan barang-barang lewat lautan atau bidang kebudayaan (agama).
Dilarangnya
Alawiyin menetap di pedalaman pulau Jawa, dilarangnya berkeluarga
dengan anggota istana (yang memang keturunan Alawiyin), hingga yang
tiada mampu pindah ke perkampungan tertentu di bandar-bandar di tepi
laut, atau karena sebab lain, mengambil nama keluarga Jawa agar
dianggapnya orang Jawa asli, pribumi. Oleh karenanya pindahanya Alawiyin
dari pedalaman ke bandar-bandar di pinggir laut, maka pula pusat
ke-Islaman pindah ke utara seperti Semarang, Surabaya, Jakarta, dst.
Yang tidak dapat berpindah dari pedalaman menetap di
perkampungan-perkampungan yang disebut “kaum” Suku-suku Alawiyin yang
telah anak-beranak dan tiada mampu pindah ke kota-kota besar dan
mengambil nama ningrat Jawa, ialah banyak dari pada Al-Basyiban,
Al-Baabud, Al-Binyahya, Al-Aydrus, Al-Fad’aq dan lain-lain lagi. Dalam
keadaan yang demikian itu, Belanda baru mulai berusaha menyeranikan Jawa
Tengah, dimana Islam tiada dapat berkembang oleh karena
peperangan-peperangan melawan Belanda dan berhasilnya aneka fitnah yang
Belanda ciptakan antara penguasa-penguasa pribumi sendiri.
Anak
Muslim tiada boleh bersekolah, sedangkan anak Kristen dapat pendidikan
dan pelajaran modern. Kemudian di-izinkan bersekolah Belanda anak-anak
orang yang berpangkat pada pemerintah jajahan, dan diharuskan mereka
tinggal (yakni in de kost) pada pejabat Belanda. Katanya agar, dapat
lancar berbicara bahasa Belanda dan mengikuti pelajaran-pelajaran yang
diberi dalam bahasa itu; sebetulnya untuk menjadikan kanak-kanak itu
berfikir dan hidup secara orang Belanda, dan untuk mengasingkan mereka
dari bangsawan sendiri, dari adat-istiadat dan agamanya. Anak rakyat
biasa, awam, mengaji, baik pada madrasah-madrasah Alawiyin atau
pesantren-pesantren.
Hubungan
Alawiyin dengan para kiyahi erat sekali. Untuk melumpuhkan
berkembangnya agama islam di antara anak-anak rakyat jelata, Belanda
mengadakan sekolah-sekolah Hollands Inlandse School (H.I.S) dengan
syarat bahwa murid tiada boleh bersaring dan berkopya-pici, harus
mengenakan celana pendek sampai atas lutut, pakaian mana bukan kebiasaan
orang yang mendirikan salat. Jangan sampai kanak-kanak dapat membaca
Al-Qur’an dan kitab-kitab agama Islam yang tertulis dengan huruf Arab,
Belnda mengajar dengan sungguh menulis dengan huruf lain, dan mengadakan
buku-buku yang menarik, dalam huruf ini, untuk maksud mana dibentuknya
Balai Perpustakaan. Banyak buku-buku yang dikarang oleh pendeta dan
padri indolog dan orientalis, mengandung racun bagi anak murid yang
pengetahuannya tentang Islam dan tarikhnya masih sangat Dangkal.
Alawiyin
menolak tawaran Belanda untuk membangun Hollands-Arabise School (H.A.S,
dan menolak pula subsidi dari pemerintah jajahan bagi
madrasah-madrasahnya, karena curiga dan takut dri tipu muslihat dan
pengaruh Belanda yang berniat merusak agama Islam. Alawiyin tiada
dibolehkan menidirkan cabang-cabang mandrasah di kota-kota besar dengan
nama yang sama, oleh karena itu nama-nama madrasah yang sama skala
pendidikannya, berlainan namanya. Para guru dari negara Islam
didatangkan untuk mengajar di madrasah-madrasah, dan kanak-kanak yang
berbakat dikirim lanjutkan pelajarannya ke Hadramaut, Hejaz, Istanbul,
Kairo dan lain-lain.
Disamping
perguruan, Alawiyin aktif juga di lapangan politik hingga beberapa
orang ditangkap dan dipenjarakan. Melawan Belanda antara mana di Aceh,
dan sesudah Aceh ditaklukannya, Muslimin hendak mengadakan pemberontakan
disana dengan mengibarkan bendera Khalifah Muslimin. Alawiyin hendak
menerbitkan pemberontakan di Singapura di kalangan tertentu Muslimin
India yang Inggeris hendak berangkatkan untuk berperang di iraq (Perang
Dunia I). Perlu juga diketahui bahwa Alawiyin senantiasa berhubungan
dengan Muslimin di luar negeri, orang-orang yang terkemuka dan
berpengaruh, teristimewa dengan Padisyah, Khalifatul Muslimin, di
Istanbul, yang atas aduan Alawiyin pernah mengirim utusan rahasia untuk
menyelidiki keadaan-keadaan Muslimin di Indonesia.
D. ALAWIYIN DI INDONESIA DI MASA PENDUDUKAN MILITER JEPANG
Pendudukan
militer Jepang menindas dan mematikan segala kegiatan Alawiyin,
terutama dalam bidang politik, peguruan tabligh, pemeliharaan orang
miskin dan anak yatim. Perpustakaan yang tidak dapat dinilai harganya
di-angkat Jepang, entah kemana. Semua kibat ada capnya dari Al-Rabitah
Al-alawiyah yang berpengurus-besar hingga kini di Jalan Mas Mansyur
(dahulu jalan Karet) No. 17 Jakarta Pusat (II/24).
E.ALAWIYIN DI INDONESIA SETELAH MERDEKA
Pemuda
Alawiyin turut giat melawan Inggeris dan Belanda (Nica), bergerilya di
pegunungan. SEMUA PEMUDA ALAWIYIN ADALAH WARGANEGARA INDONESIA dan masuk
berbagai partai Islam. Dalam lapangan ekonomi mereka sangat lemah
hingga kini belum dapat merebut kembali kedudukannya seperti sebelumnya
pecah perang dunia ke-dua dengan lain kata, jika Alawiyin sebelumnya
Perang Dunia ke II dapat membentuk badan-badan sosial seperti
gedung-gedung madrasah, rumah yatim piatu, masjid-masjid dan membayar
guru-guru yang cakap, maka sekarang ini dengan susah payah mereka
membiayai pemeliharaannya dan tidak dapat lagi memberi tenaga guru-guru
sepandai dan seacakap yang dahulu, meskipun kesempatan kiniadalah lebih
baik dari dan pertolongan pemerintah ala qadarnya. Kegiatan yang
tersebar sampai di pelosok-pelosok kepualauan Indonesia.
Alawiyin
yang lebih dikenal dengan sebutan sayid, habib, ayib dan sebagainya
tetap dicinta dimana-mana dan memegang peranan rohani yang tidak dapat
dibuat-buat sebagaimana juga di negara islam lain. Kebiasaan dan tradisi
Alawiyin di-ikuti dalam Perayaan maulid Nabi, haul, nikah,
upacara-upacara kematian dan sebagainya.
Suku-suku
Alawiyin di Indonesia yang berjumlah kurang lebih 50.000 orang; ada
banyak yang besar, antara mana Al-Saggaf, Al-Attas, Al-Syihab,
Al-Habasyi, Al-Aydrus, Al-Kaf, Al-Jufri, Al-Haddad dan semua keturunan
asal-usul ini dicatat dan dipelihara pada Al-Maktab Al-Da-imi yaitu
kantor tetap untuk statistik dan pemeliharaan nasab sadatul-alawiyin
yang berpusat di gedung “Darul Aitam” jalan K.H. Mas Mansyur (dahulu
jalan Karet) No. 47, Jakarta Pusat (II/24)
Menurut Muhammad bin Ahmad al-Syatri dalam kitabnya Adwar al-Tarikh al-Hadrami, bangsa Arab terbagi menjadi tiga golongan : al-Ba’idah yaitu bangsa Arab terdahulu dan kabar berita tentang mereka telah terputus karena sudah terlalu lama,al-’Aribah yaitu orang-orang Arab Yaman keturunan Qahthan, al-Musta’ribah yaitu keturunan Nabi Ismail as (Adnaniyah).[1] Karena
golongan yang pertama sudah tidak ada lagi maka para ahli sejarah hanya
mengkaji golongan yang kedua dan ketiga, yaitu bani Qahthan dan bani
Ismail. Bani Ismail as adalah keturunan dari Nabi Ismail as anak Nabi
Ibrahim as yang mula-mula berdiam di kota Ur yang merupakan kota di
Babylonia. Nabi Ibrahim as meninggalkan kota Ur dan berpindah ke
Palestina. Setelah Nabi Ibrahim as mempunyai anak dari Siti Hajar yang
bernama Ismail as, mereka pindah ke Hijaz tepatnya di Wadi Mekkah.
Nabi
Ismail as mempunyai putera sebanyak dua belas orang, masing-masing
mempunyai keturunan. Tetapi kemudian keturunan mereka terputus, hanya
keturunan Adnan-lah yang berkembang biak, sebab itu bani Ismail ini
dinamai juga bani Adnan. Sedangkan Bani Qahthan menurunkan suku Tajib
dan Sodaf. Bani Qahthan berasal dari Mesopotamia dan kemudian pindah ke
negeri Yaman. Penduduk asli Yaman adalah kaum ‘Ad yang kepada mereka
diutus Nabi Hud as. Mereka dibinasakan oleh Allah swt dengan menurunkan
angin yang amat keras. Kaum ‘Ad yang dibinasakan ini disebut kaum ‘Ad
pertama, sedangkan kaum ‘Ad yang masih mengikuti Nabi Hud as disebut
kaum ‘Ad kedua.
Sesudah
Nabi Ibrahim mendirikan Baitullah di Mekkah, jadilah kota Mekkah itu
kota yang paling masyhur di tanah Hijaz, dan berdatanganlah orang dari
segenap penjuru jazirah Arab ke Mekkah untuk naik haji dan ziarah ke Baitullah. Karena itu lama kelamaan kota Mekkah menjadi pusat perniagaan.
Pertama
kali kota Mekkah dipegang oleh bani Adnan, karena itu bani Adnanlah
yang memelihara dan menjaga Ka’bah. Sesudah runtuhnya kerajaan Sabaiah,
maka berpindahlah satu suku yang bernama Khuza’ah dari Yaman ke Mekkah
dan mereka merampas kota Mekkah dari tangan bani Adnan. Dengan demikian
berpindahlah penjagaan Baitullah dari bani Adnan kepada bani Khuza’ah.
Di
kemudian hari, dari suku Quraisy terdapat seorang pemimpin yang kuat
dan cerdas, namanya Qushai. Qushai ini beruntung dapat merebut kunci
Ka’bah dari bani Khuza’ah dan kemudian mengusir bani Khuza’ah itu dari
Mekkah. Maka jatuhlah kembali kekuasaan di Mekkah ke tangan bani Adnan.
Kemudian Qushai diangkat menjadi raja yang di tangannya terhimpun
kekuasaan keagamaan dan keduniaan. Sesudah Qushai meninggal kekuasaan
tersebut dipegang oleh keturunannya yang bernama Abdi Manaf.
Abdu Manaf mempunyai empat anak: Abdu Syams, Naufal, al-Muththalib dan Hasyim.[2] Hasyim
adalah keluarga yang dipilih oleh Allah yang diantaranya muncul
Muhammad bin Abdullah bin Abdul-Muththalib bin Hasyim. Rasulullah saw
pernah bersabda :
“Sesungguhnya
Allah telah memilih Isma’il dari anak keturunan Ibrahim, memilih
Kinanah dari anak keturunan Isma’il, memilih Quraisy dari anak keturunan
Bani Kinanah, memilih Bani Hasyim dari keturunan Quraisy dan memilihku
dari keturunan Bani Hasyim. “.(H.R. Muslim dan at-Turmudzy).
Dari al-’Abbas bin Abdul Muththalib, dia berkata, Rasulullah saw bersabda :
“Sesungguhnya
Allah menciptakan makhluk, lalu Dia menjadikanku dan sebaik-baik
golongan mereka dan sebaik-baik dua golongan, kemudian memilih beberapa
kabilah, lalu menjadikanku diantara sebaik-baik kabilah, kemudian
memilih beberapa keluarga Ialu menjadikanku diantara sebaik-baik
keluarga mereka, maka aku adalah sebaik-baik jiwa diantara mereka dan
sebaik-baik keluarga diantara mereka”. (Diriwayatkan oleh at-Turmudzy).
Dari
keturunan inilah Allah swt telah menerbitkan cahaya cemerlang,
menerangi semesta alam, dikarenakan agama Islam yang dibawa keturunan
Adnan kepada masyarakat Hadramaut yang berasal dari keturunan Qahthan.
Diantara keturunan Adnan yang berada di Hadramaut adalah kaum Alawiyin,
sebelumnya mereka menetap di Basrah, Iraq.
Tokoh pertama golongan Alawi di Hadramaut adalah Ahmad bin Isa yang dijulukial-Muhajir.[3] Kepindahannya
ke Hadramaut disebabkan kekuasaan diktator kekhalifahan Bani Abbas yang
secara turun menurun memimpin umat Islam, mengakibatkan rasa
ketidakpuasan di kalangan rakyat. Rakyat mengharapkan salah satu
keturunan Rasulullah dapat memimpin mereka. Akibat dari kepemimpinan
yang diktator, banyak kaum muslim berhijrah, menjauhkan diri dari pusat
pemerintahan di Bagdad dan menetap di Hadramaut. Imam Ahmad bin Isa
keadaannya sama dengan para sesepuhnya. Beliau seorang ‘alim, ‘amil (mengamalkan ilmunya), hidup bersih dan wara’ (pantang
bergelimang dalam soal keduniaan). Di Iraq beliau hidup terhormat dan
disegani, mempunyai kedudukan terpandang dan mempunyai kekayaan cukup
banyak. Mereka hijrah ke Hadramaut bukan karena dimusuhi atau
dikejar-kejar tetapi mereka lebih mementingkan keselamatan aqidah
keluarga dan pengikutnya. Mereka hijrah dari Basrah ke Hadramaut
mengikuti kakeknya Rasulullah saw hijrah dari Makkah ke Madinah.
Mengenai hijrahnya Imam Ahmad Al-Muhajir ke Hadramaut, Habib Abdullah bin Alwi al-Haddad dalam bukunya Risalah al-Muawanah mengatakan
: Al-Imam Muhajir Ahmad bin Isa bin Muhammad bin Ali bin al-Imam Ja’far
Shadiq, ketika menyaksikan munculnya bid’ah, pengobralan hawa nafsu dan
perbedaan pendapat yang makin menghangat, maka beliau hijrah dari
negaranya (Iraq) dari tempat yang satu ke tempat yang lain hingga sampai
di Hadramaut, beliau bermukim di sana hingga wafat.
Ketika beliau berangkat hijrah dari Iraq ke Hijaz pada tahun 317 H beliau ditemani oleh istrinya, Syarifah Zainab binti Abdullah bin al-Hasan bin ‘Ali al-‘Uraidhy,
bersama putera bungsunya bernama Abdullah, yang kemudian dikenal dengan
nama Ubaidillah. Turut serta dalam hijrah itu cucu beliau yang bernama
Ismail bin Abdullah yang dijuluki
dengan Bashriy. Turut pula dua anak lelaki dari paman beliau dan
orang-orang yang bukan dari kerabat dekatnya. Mereka merupakan rombongan
yang terdiri dari 70 orang. Imam al-Muhajir membawa sebagian dari harta
kekayaannya dan beberapa ekor unta ternaknya. Sedangkan
putera-puteranya yang lain ditinggalkan menetap di Iraq.[4]
Tibalah
Imam al-Muhajir di Madinah al-Munawwarah dan tinggal di sana selama
satu tahun. Pada tahun itulah kaum Qaramithah memasuki kota Makkah dan
menguasainya. Mereka meletakkan pedang di al-Hajij dan memindahkan
Hajarul-Aswad dari tempatnya ke tempat lain yang dirahasiakan. Pada
tahun berikutnya al-Muhajir berangkat ke Makkah untuk menunaikan ibadah
haji. Dari Makkah beliau menuju Asir lalu ke Yaman. Di Yaman beliau
meninggalkan anak pamannya yang bernama Sayyid Muhammad bin Sulaiman,
datuk kaum Sayyid al-Ahdal. Kemudian Imam al-Muhajir berangkat menuju
Hadramaut dan menetap di Husaisah. Imam al-Muhajir menetap di Hadramaut
atas dasar pengarahan dari Allah SWT, sebab kenyataan menunjukkan,
setelah beliau hijrah ke negeri itu di
sana memancar cahaya terang sesudah beberapa lama gelap gulita.
Penduduk Yaman khususnya Hadramaut yang mengaku penduduk asli dari
keturunan Qahthan, yang awalnya bodoh dan sesat berubah menjadi mengenal
ilmu dan berjalan di atas syariat Islam yang sebenarnya. Imam
al-Muhajir dan keturunannya berhasil menundukkan masyarakat Hadramaut
yang mempunyai faham Khawarij dengan dalil dan argumentasi.
Maka
masuklah Imam al-Muhajir ke Hadramaut. Ia bersikap lemah lembut dalam
da’wahnya dan menempuh cara yang halus dan mengeluarkan hartanya. Maka
banyak orang-orang Khawarij yang datang kepadanya dan taubat di
tangannya setelah mereka berusahamenentang dan mencacinya. Ia juga
menolong qabilah al-Masyaikh al-Afif. Dan bergabung juga dengannya
qabilah Kindah dan Madij. Mereka meninggalkan madzhab Ibadhiy dan
bercampur dengan orang-orang yang datang dari Iraq.[5]
Kaum
Khawarij tidak mengakui atau mengingkari Imam al-Muhajir berasal dari
keturunan Nabi Muhammad saw. Untuk memantapkan kepastian nasabnya
sebagai keturunan Rasulullah saw, sayyid Ali bin Muhammad bin Alwi
berangkat ke Iraq. Di sanalah ia beroleh kesaksian lebih dari seratus
orang terpercaya dari mereka yang hendak berangkat menunaikan ibadah haji. Kesaksian mereka yang
mantap ini lebih dimantapkan lagi di Makkah dan beroleh kesaksian dari
rombongan haji Hadramaut sendiri. Dalam upacara kesaksian itu hadir
beberapa orang kaum Khawarij, lalu mereka ini menyampaikan berita
tentang kesaksian itu ke Hadramaut.
Dan
diantara ulama ahli nasab dan sejarah yang telah memberikan
perhatiannya terhadap kebenaran nasab keturunan al-Imam al-Muhajir dan
silsilah mereka yang mulia, ialah : pertama, al-Allamah Abu Nash Sahal bin Abdullah al-Bukhori dalam kitabnya Sirru al-Silsilah al-Alawiyah tahun 341hijriyah. Kedua,
al-Nasabah Abu Hasan Najmuddin Ali bin Abi al-Ghonaim Muhammad bin Ali
al-Amiri al-Bashri, wafat tahun 443. Di antara kitabnya adalah al-Majdi wa al-Mabsuth wa al-Musajjar. Ketiga, al-Allamah Muhammad bin Ja’far al-Ubaidili dalam kitabnya Tahdzib al-Ansab, wafat tahun 435 hijriyah. Keempat,
al-Allamah al-Yamani Abu al-Abbas al-Syarajji dalam kitabnya Thabaqat
al-Khawash Ahl al-Shidqi wa al-Ikhlas. Di dalamnya disebutkan mengenai
hijrahnya Saadah keluarga al-Ahdal dan Bani Qudaimi, disebutkan awal
pertama mereka tinggal di daerah Wadi Saham, Wadi Surdud, dan Hadramaut.
Dan
terdapat pula dari beberapa ulama nasab yang mempunyai catatan-catatan
ringkas mengenai nasab keturunan Rasulullah yang mulia ialah al-Imam
al-Nasabah al-Murtadho al-Zubaidi dan al-Nasabah Ibnu Anbah pengarang
kitab Umdah al-Thalib. Selain
mereka banyak pula yang mengadakan penelitian tentang nasab keturunan
Rasulullah saw yang mulia, hasilnya mereka mendapatkan kebenaran yang
tidak diragukan lagi, sebagaimana hukum syar’i yang telah menjelaskan
masalah interaksi sosial dan keterangan-keterangan yang berkaitan dengan
keberadaan mereka dalam bentuk dalil-dalil yang kuat yang menjelaskan
kemuliaan nasab mereka, serta kepemimpinan mereka di wilayah Arab,
Hindi, Turki, Afrika Timur, Asia, semuanya merupakan dalil yang kuat
tentang keberadaan mereka.
Di
antara peneliti tersebut ialah al-Khazraji, al-Yafi’, al-Awaji, Ibnu
Abi al-Hub, al-Sakhowi, Abu Fadhol, Abu Ubbad, Ibnu Isa al-Tarimi,
al-Junaid, Ibnu Abi al-Hissan, Ibnu Hajar al-Haitami, Ibnu Samuroh, Ibnu
Kabban, Bamahramah, Ibnu Fahd, Ibnu Aqilah, al-Marwani al-Tarimi, dan
lainnya sebagaimana dijelaskan oleh Sayid Dhiya’ Shahab dalam bukunya
‘al-Imam al-Muhajir’. Terakhir, nasab keturunan Rasulullah saw dibahas
oleh Sayid Abdullah bin Hasan Bilfaqih dalam kitab Tafnid al-Maza’im, Sayid Alwi bin Thahir al-Haddad dalam kitab al-Qaul al-Fashlu dan al-Syamil fi Tarikh Hadramut, Sayid Abdurrahman bin Ubaidillah al-Saqqaf dalam kitab Badhoi’ al-Tabut.[6]
Dengan
demikian mantaplah sudah pengakuan masyarakat luas mengenai keutamaan
para kaum ahlul-bait sebagai keturunan Rasulullah saw melalui puteri
beliau Siti Fatimah Az-Zahra dan Imam Ali bin Abi Thalib. Rasulullah saw bersabda :
‘Setiap
putra ibu akan bergabung nasabnya kepada ashabahnya (pihak ayah),
kecuali anak-anak Fathimah, Akulah wali mereka dan akulah ashabah
mereka’.[7]
Al-allamah Yusuf bin Ismail al-Nabhany dalam bukunya Riyadhul Jannahmengatakan : ‘Kaum
Sayyid Baalawi oleh umat Muhammad saw sepanjang zaman dan di semua
negeri telah diakui bulat sebagai ahlul-bait nubuwah yang sah, baik
ditilik dari sudut keturunan maupun kekerabatan, dan mereka itu adalah
orang-orang yang paling tinggi ilmu pengetahuan agamanya, paling banyak
keutamaannya dan paling tinggi budi pekertinya’.[8]
Ahmad
bin Isa wafat di Husaisah pada tahun 345 Hijriah. Beliau mempunyai dua
orang putera yaitu Ubaidillah dan Muhammad. Ubaidillah hijrah bersama
ayahnya ke Hadramaut dan mendapat tiga orang putera yaitu Alwi, Jadid
dan Ismail (Bashriy). Dalam tahun-tahun terakhir abad ke 6 H keturunan
Ismail (salah satu keturunannya ialah Syekh Salim Bin Bashriy) dan
Jadid (salah satu keturunannya ialah al-Imam Abi Jadid Ali bin Muhammad
bin Ahmad bin Muhammad bin Ali bin Jadid) punah dalam sejarah,
sedangkan keturunan Alwi tetap lestari. Mereka menamakan diri dengan
nama sesepuhnya Alwi, yang kemudian dikenal dengan kaum Sayyid Alawiyin.
Kita
dapat menyaksikan bahwa sekarang anak cucu dan keturunan Imam Ahmad bin
Isa menyebar di berbagai pelosok Hadramaut, dan di daerah pesisir
lautan Hindia, seperti Asia Tenggara, India dan Afrika Timur. Para da’i
dan ulama-ulama mereka mempunyai peranan yang besar di tanah air mereka
yang baru. Karena itu para penguasa, sultan, dan penduduk-penduduknya
memuliakan mereka karena karya mereka yang baik dan agung.
Para
sayyid Alawiyin menyebarkan da’wah Islamiyah di Asia Tenggara melalui
dua tahap, pertama hijrah ke India. Kemudian pada tahap kedua dari India
ke Asia Tenggara, atau langsung dari Hadramaut ke Asia Tenggara melalui
pesisir India. Di antara yang hijrah ke India adalah seorang alim
syarif Abdullah bin Husein Bafaqih ke kota ‘Kanur’ dan menikahi anak
menteri Abdul Wahab dan menjadi pembantunya sampai wafat. Lalu syarif
Muhammad bin Abdullah Alaydrus yang terkenal di kota Ahmadabad dan
Surat. Ia hijrah atas permintaan kakeknya syarif Syech bin Abdullah
Alaydrus. Begitu pula keluarga Abdul Malik yang diberi gelar ‘Azhamat
Khan’. Dari keluarga inilah asal keturunan penyebar Islam di Jawa yang
disebut dengan Wali Songo[9].
Kemudian dari India, mereka melanjutkan perjalanannya ke Indonesia,
yaitu daerah pesisir utara Sumatera yang sekarang dikenal dengan
propinsi Aceh.
Menurut
Prof. Dr. Hamka, sejak zaman kebesaran Aceh telah banyak
keturunan-keturunan Hasan dan Husain itu datang ke tanah air kita ini.
Sejak dari semenanjung Tanah Melayu, Kepulauan Indonesia dan Filipina. Harus diakui banyak jasa mereka dalam penyebaran Islam di seluruh Nusantara ini.
Penyebar Islam dan pembangun kerajaan Banten dan Cirebon adalah Syarif
Hidayatullah yang diperanakkan di Aceh. Syarif kebungsuan tercatat
sebagai penyebar Islam ke Mindanau dan Sulu. Sesudah pupus keturunan
laki-laki dari Iskandar Muda Mahkota Alam pernah bangsa Sayid dari
keluarga Jamalullail jadi raja di Aceh. Negeri Pontianak pernah
diperintah bangsa sayid al-Qadri. Siak oleh keluarga bangsa sayid Bin
Syahab. Perlis (Malaysia) dirajai oleh bangsa sayid Jamalullail. Yang
Dipertuan Agung III Malaysia Sayid Putera adalah raja Perlis. Gubernur
Serawak yang sekarang ketiga, Tun Tuanku Haji Bujang ialah dari keluarga
Alaydrus. Kedudukan mereka di negeri ini yang turun temurun menyebabkan
mereka telah menjadi anak negeri di mana mereka berdiam. Kebanyakan
mereka jadi ulama. Mereka datang dari Hadramaut dari keturunan Isa
al-Muhajir dan al-Faqih al-Muqaddam. Mereka datang kemari dari berbagai
keluarga. Yang kita banyak kenal ialah keluarga Alatas, Assaqaf, Alkaf,
Bafaqih, Alaydrus, Bin Syekh Abubakar, Al-Habsyi, Al-Haddad, Bin Smith,
Bin Syahab, Al-Qadri, Jamalullail, Assiry, Al-Aidid, Al-Jufri, Albar,
Al-Mussawa, Gathmir, Bin Aqil, Al-Hadi, Basyaiban, Ba’abud, Al-Zahir,
Bin Yahya dan lain-lain. Yang menurut keterangan almarhum sayid Muhammad
bin Abdurrahman Bin Syahab[10] telah
berkembang jadi 199 keluarga besar. Semuanya adalah dari Ubaidillah bin
Ahmad bin Isa al-Muhajir. Ahmad bin Isa al-Muhajir Illallah inilah yang
berpindah dari Basrah ke Hadramaut. Lanjutan silsilahnya ialah Ahmad
bin Isa al-Muhajir bin Muhammad al-Naqib bin Ali al-Uraidhi bin Ja’far
al-Shaddiq bin Muhammad al-Baqir bin Ali Zainal Abidin bin Husain
al-Sibthi bin Ali bin Abi Thalib. As-Sibthi artinya cucu, karena Husain
adalah anak dari Fathimah binti Rasulullah saw.
Orang-orang
Arab Hadramaut mulai datang secara massal ke Nusantara pada tahun-tahun
terakhir abad 18, sedangkan kedatangan mereka di pantai Malabar jauh
lebih awal. Perhentian mereka yang pertama adalah Aceh. Dari sana mereka
lebih memilih pergi ke Palembang dan Pontianak. Orang Arab mulai banyak
menetap di Jawa setelah tahun 1820, dan koloni-koloni mereka baru tiba
di bagian Timur Nusantara pada tahun 1870. Pendudukan Singapura oleh
Inggris pada tahun 1819 dan kemajuan besar dalam bidang perdagangan
membuat kota itu menggantikan kedudukan Aceh sebagai perhentian pertama
dan titik pusat imigrasi bangsa Arab. Sejak pembangunan pelayaran dengan
kapal uap di antara Singapura dan Arab, Aceh bahkan menjadi tidak
penting sama sekali.
Di
pulau Jawa terdapat enam koloni besar Arab, yaitu Batavia, Cirebon,
Tegal, Pekalongan, Semarang dan Surabaya. Di Madura hanya ada satu yaitu
di Sumenep.. Koloni Arab di Surabaya dianggap sebagai pusat koloni di
pulau Jawa bagian Timur. Koloni Arab lain yang cukup besar berada di
Pasuruan, Bangil, Probolinggo, Lumajang, Besuki dan Banyuwangi. Koloni
Arab di Besuki mencakup pula orang Arab yang menetap di kota Panarukan
dan Bondowoso.
Koloni-koloni
Arab Hadramaut khususnya Alawiyin yang berada lokasi pesisir tetap
menggunakan nama-nama famili mereka, sedangkan Alawiyin yang tidak dapat
pindah ke pesisir karena berbagai sebab kemudian berganti nama dengan
nama Jawa, mereka itu banyak yang berasal dari keluarga Bayaiban,
Ba’bud, Bin Yahya dan lainnya.
[1] Jilid 1, hal. 25
[2] Ali bin Ahmad bin Said bin Hazm al-Andalusi. Jamharoh Ansab al-Arab, hal. 14.
[3] Para ahli sejarah sepakat memberi gelar al-Muhajir hanya kepada
al-Imam Ahmad bin Isa sejak hijrahnya dari negeri Iraq ke daerah
Hadramaut, hanya al-Imam al-Muhajir yang khusus menerima gelar tersebut
meskipun banyak pula orang-orang dari kalangan ahlul bait dan dari
keluarga pamannya yang berhijrah menjauhi berbagai macam fitnah dan
berbagai macam gerakan yang timbul.
[4] Idrus Alwi Al-Masyhur, Menelusuri Silsilah Suci Bani Alawi, hal. 15.
[5] Muhammad Hasan Alaydrus, Penyebaran Islam di AsiaTenggara, hal 22.
[6] Abubakar Al-Adeni Bin Ali Al-Masyhur, Al-Abniyah al-Fikriyah, hal. 25.
[7] Jalaluddin Al-Suyuthi, Ihya al-Mait Fi Fadhail Ahlu al-Bait, hal. 42.
[8] Idrus Alwi Al-Masyhur, op cit, Hal. 15.
[9] Muhammad Hasan Alaydrus, op cit, hal. 35.
[10] Beliau adalah salah satu pendiri Rabithah Alawiyah dan menjadi ketua yang pertama.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar